Senin, 23 Februari 2009

”UPAYA MENINGKATKAN PERAN MAHASISWA DALAM TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI MELALUI KEORGANISASIAN (HIMA/UKM)”

Perguruan Tinggi merupakan lembaga pendidikan formal yang mengemban amanah untuk menciptakan masyarakat akademik yang cakap ilmu dan juga menjadi agen dari perubahan sosial (agent of social change), perguruan tinggi yang merupakan jenjang pendidikan yang terakhir ini mempunyai tiga misi yang tertanam yaitu pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat atau lebih dikenal dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi, akan tetapi dalam merealisasikan misi tersebut bukanlah hal yang mudah semudah membalikan telapak tangan.
Oleh karena itu kita sebagai agen of change mempunyai amanah yang mutlak dalam merealisasikan tri dharma Perguruan Tinggi, Untuk mewujudkan peran Perguruan Tinggi seperti yang diungkapkan di muka maka dalam proses belajar mengajar di Perguruan Tinggi perlu diciptakan iklim kultur keorganisasian (UKM/HIMA) yang mantap dan mempunyai kontribusi yang lebih, baik untuk kampus secara khusus dan masyarakat secara umum. Dalam keberlangsungan Perguruan Tinggi pemanfaatan proses keorganisasian, hal ini diharapkan bisa meningkatkan kepekaan mahasiswa terhadap lingkungan sekitar dan mampu berfikir secara kritis adalah tidak terlepas dari karakter khas dan fungsi Perguruan Tinggi itu sendiri yaitu membentuk insan akademik intelektualis yang dapat mempertanggungjawabkan kualitas keilmuannya dan membentuk insan akademis yang mengabdi terhadap masyarakat. Kita bisa menyimpulkan ada dua manfaat yang mendasar dari proses keorganisasian, pertama untuk meningkatkan kepekaan kualitas intelektual mahasiswa, dan kedua untuk meningkatkan kepekaan mahasiswa terhadap masyarakat (lingkungannya). Semua itu secara tidak langsung ada kaitan korelasi dalam merealisasikan Tri Darma Perguruan Tinggi, Dalam pelaksanaan proses keorganisasian ada 2 point yang mendukung yaitu adanya kebebasan belajar (freedom to learn) dan kebebasan berkomunikasi (freedom to communication). Kedua kebebasan ini merupakan sisi dari proses keorganisasian dan merupakan upaya yang tepat dalam meningkatkan kepekaan mahasiswa.
Point yang pertama adalah kebebasan belajar (freedom to learn) harus di artikan secara luas, di mana dalam proses belajar jangan hanya sebatas dinding-dinding kampus saja akan tetapi juga kebebasan untuk mempelajari persoalan-persoalan yang ada di luar dinding-dinding kampus (masalah riil dalam masyarakat) sebagai wadah akan semua itu bisa dilakukan dengan pengaplikasian kepanitiaan yang merupakan salah satu contoh proses keorganisasian. Dengan adanya kebebasan belajar yang berimplikasi sosial ini dilihat dari pengembangan intelektual adalah sangat menguntungkan. Hal ini dikarenakan ramuan ilmu yang dikonsumsi oleh mahasiswa sebagian dari dunia luar yang kondisinya lain dengan apa yang ada dalam masyarakat Indonesia. Sebagai konsekuensinya apabila konsep-konsep serta teori yang datang dari luar tersebut mau digunakan untuk memecahkan problem-problem kemasyarakatan Indonesia maka memerlukan modifikasi dan penyesuaian seperlunya. Dengan demikian mahasiswa dalam pengembangan intelektualnya tidak bisa berpaling dari masalah kemasyarakatan. Dan apabila keterlibatan mahasiswa dalam memahami masalah kemasyarakatan tidak dikembangkan maka ilmu-ilmu yang diterima di bangku kuliah akan menjadi pisau analisa yang tumpul.
Setelah adanya kebebasan belajar (freedom to learn) sebagai langkah awal dari cara mempelajari persoalan-persoalan yang ada di lingkungan kampus dan masyarakat, maka untuk lebih meningkatkan kepekaan mahasiswa dalam memperluas cakrawalan pemikiran dan penalaran, menumbuhkan sikap dinamis, kritis, terbuka dan mempunyai kemampuan untuk memilih alternatif terbaik diperlukan terciptanya cultur kebebasan berkomunikasi (freedom to communication). Kebebasan berkomunikasi yang baik adalah adanya peluang mahasiswa untuk berpendapat, bertanya, berhak untuk melontarkan gagasan ilmiah secara obyektif semua itu bisa terealisasi secara efektif hanya dalam pergaulan keorganisasian karena komunikasi yang dilakukan didalam kelas masih terasa kaku berbeda dengan kondisi keorganisasian para mahasiswa lebih terpacu menggali dan berani untuk berpendapat, Dalam rangka terwujudnya kebebasan berkomunikasi ini, maka perlu adanya hubungan kerjasama antara mahasiswa dengan komponen-komponen di lingkungan Perguruan Tinggi untuk mengadakan kegiatan-kegiatan ilmiah seperti seminar, diskusi, dan sebagainya. Sebab menciptakan kultur keorganisasian yang mantap adalah merupakan tanggung jawab seluruh civitas akademika Perguruan Tinggi.
Barangkali dengan pengertian freedom to learn dan freedom to communication tersebut kegiatan berorganisasi benar-benar dapat bermanfaat dalam meningkatkan kepekaan mahasiswa untuk mewujudkan peran Tri Dharma Perguruan Tinggi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar